* diambil dari buku 5 cm
Kamu sangat berarti, istimewa di hati
Slamanya rasa ini… bila nanti kita tua dan hidup masing-masing
Ingatlah hari ini _______________ (Ingatlah hari ini, Project P)
Sebuah cerita, sebuah kenangan menjadi satu dalam sebuah catatan perjalanan dan foto yang berbicara akan keagunganMu.. Dan cerita itu dimulai…
HARI 1 (14 September 2010)
Pagi yang ditunggu telah tiba. Kumandang adzan subuh sudah terdengar, dan saya masih berkutat dengan 2 karier dan 1 daypack yang akan saya dan Nesa bawa. Setelah semua selesai bergegaslah saya untuk mandi, dan bersiap-siap. Mengingat semalem kita udah janji untuk bertemu dengan Yudi di Terminal Bungurasih atau Purabaya Surabaya jam 5.00 dini hari. Tapi apa daya, Nesa baru nyampe kosan jam 5. Langsung aja tanpa babibu pergilah kita ke Bungurasih menggunakan motor. Dan ternyata Yudi sudah disana menungggu kedatangan kita. Tanpa pikir panjang kita bertiga langsung cari bus Surabaya-Malang. Bus pun udah standby, dan langsung berangkat ketika kami menaikinya. Dengan ongkos Rp 12.000 per orang, sampailah kita di Terminal Arjosari Malang sekitar pukul 07.15. Disini kami bertemu dengan tiga orang lagi, om Wawo, om Indra, dan Rifki. Meeting point di depan pintu keluar bus, satu persatu mereka bermunculan disana. Rombongan pertama lengkap, Clara, Nesa, Yudi, Om Wawo, Om Indra, dan Rifki. Akhirnya ketemu juga angkot Arjosari-Tumpang. Begitu sampai Tumpang sebagian dari kami, melengkapi logistic dan fotokopi ID untuk keperluan simaksi. Tak sengaja pula kami, bertemu dengan 3 pendaki dari Bandung yang sama-sama mau ‘ngesot’ ke Semeru. Akhirnya barenglah kita dengan 3 orang itu yang kami sebut rombongan ‘Mas Norman’.
Angkot putih itu berhenti di depan Pos Perhutani Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) tepat pukul 09.00.
Karier satu persatu keluar dari tubuh angkot yang mungil itu, dan setelah menyelesaikan pembayaran, maka kami pun segera menyelesaikan simaksi untuk pendakian ke Tanah tertinggi di Jawa itu. Dan karier-karier itu berpindah ke atas tubuh jeep yang garang yang sebelumnya sudah kami pesan (FYI jeep tumpang-ranupane PP 750.000). Saya dan Om Wawo pun mulai memasuki ruangan administrasi, dengan modal fotokopi KTP rangkap 2 dan fotokopi surat keterangan sehat rangkap 2 juga uang 7000/orang, simaksi pun keluar. Mudah dan simple. Simaksi pun keluar untuk 12 orang. Berhubung rombongan kedua masih di negeri antah berantah (kereta tambahan Jakarta-Malang yang mereka sebut kaleng neraka), kami ber-6 mendahului mereka dan berniat untuk menunggu di Ranu Kumbolo. Pesan singkat terkirim, dan rombongan kedua setuju, melihat tidak ada kejelasan kapan mereka sampai Malang.
Berangkatlah kami menuju Ranu Pane. Perjalanan Tumpang-Ranupane membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Sampai disana saya menyelesaikan perijinan pendakian, dan yang lainnya mulai makan siang. Setelah semua selesai kita mulai check recheck packingan masing-masing.
Langkah kami perlahan menapaki areal persawahan tepat pukul 13.15. Langkah-langkah kecil ini mulai menapaki lereng Semeru perlahan-lahan. Sebentar-sebentar kami berisitirahat, untuk mengadaptasikan kaki ini yang sudah jarang berolahraga di alam bebas ( ngeles, dasarnya emang ngesot koq, apalagi saya :hammer:).
Medan yang begitu jelas dan tidak terlalu menanjak, rimbunnya pepohonan, juga semangat kami yang membara (bagaikan api menyala-nyala waktu olimpiade) sampailah kami di Ranu Kumbolo pada pukul 17.30. Hari sudah gelap, cepatlah kami membikin tenda dan mulai memasak untuk ‘canddle light dinner at Ranu Kumbolo’ (kalo yang ini becanda org kita cuma masak bihun rebus gara2 dingin bangeet). Setalah semua makan, peralatan dapur diberesin, tidurlah kita di pelukan kabut Ranu Kumbolo.
HARI 2 (15 September 2010)
Matahari belum muncul, tapi hari sudah mulai terang, dan dingin masih menyelimuti kami semua. Perlahan kami bangun satu per satu, sebagian dari kami termasuk saya langsung ambil kamera dan tak mau melewatkan sunrise di Ranu Kumbolo yang aduhaai eloknya. Indah nian surga Semeru ini.
Setelah hari agak siang cepatlah kami memasak dan mulai bongkar tenda. Menu pagi ini sup merah, kering tempe, dan srondeng.
Hummn, apapun makanannya selama jauh dari peradaban masih tetap enak.
Dalam benak kami, pikiran melayang ke rombongan kedua yang dari Jakarta dan Cirebon. Bagaimana nasib mereka? Kenapa belum sampai sini juga? Kami putuskan untuk menunggu mereka di Kalimati dan menitipkan pesan kepada pendaki yang mau turun ke Ranu Pane.
Jam tangan udah menunjukkan 08.30 dan kami ber-6 sudah ready. Sebelumnya kami selalu berdoa memohon berkat dan karuniaNya. Awal perjalanan kita langsung disuguhi Tanjakan Cinta.
Yaah, dengan nafas ngos-ngosan (tidak dgn lidah keluar) sampailah kami diatas bukit itu dan kami melihat apa yang disebut Oro-Oro Ombo. Kami memilih jalan yang kebawah (yg kanan), kata Nesa biar kerasa Into the Wildnya. Memang benar, diantara padang ilalang itu kami berjalan beriringan, sambil ambil foto sana-sini (tak ketinggalan saya jugaa donk).
Tiba di perbatasan yang mulai memasuki hutan, kami beritirahat sebentar disana. Kami berempat (Clara, Nesa, Om Indra, dan Rifki) jalan duluan dikarenakan Om Wawo mau ngumpetin sebagian logistik. Pelan tapi pasti kami berjalan. Tidak sedikit kami berpapasan dengan pendaki yang turun maupun yang sama-sama naik. Siang hari kami beristirahat sejenak memakan bekal siang untuk mengganjal perut ini di Blok Jambangan sambil menunggu Om Wawo dan Yudi. Kurma dan Sari Nata de Coco mulai mengisi perut kami. Sedikit tenaga lagi untuk mencapai Kalimati.
Akhirnya dengan terengah-engah Om Wawo dan Yudi sampai juga di Blok Jambangan. Setelah semua siap melangkah, karier satu per satu terpasang di pundak masing-masing.
Tak berapa lama, sampailah kami di Kalimati. Sudah nampak tenda-tenda berwarna-warni menghiasi tanah berpasir ini diantara para edelweisnya. Akhirnya kami memilih spot yang akan ditinggalkan penghuninya. Saya, Om Wawo, dan Indra mulai memasang tenda masing-masing. Dan ketiga orang yang lainnya mengisi air di Sumber Mani yang cukup jauh dari situ (menurut saya).
Tenda selesai dibikin dan ketiga orang sudah kembali dengan berliter-liter air di pundaknya. Kami segera memasak, dan mulai berharap-harap cemas dengan rombongan kedua. Mengingat senja mulai menjemput, dan mereka ber-6 belum menunjukkan batang hidungnya.
Sambil menikmati senja itu, bersama obrolan ringan dengan secangkir kopi capuccino dan alunan musik Mahameru (Dewa 19) kami bercanda diantara pohon-pohon yang bergoyang tertiup angin.
Mendaki melintas bukit berjalan letih menahan berat beban
Bertahan di dalam dingin berselimut kabut Ranu Kumbolo
Menatap jalan setapak bertanya-tanya kapankah berakhir
Mereguh coklat susu menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda
Tak berapa lama, rombongan kedua muncul dengan kedatangan tiga orang yaitu Nanoenk, Fajar, dan Angga. Dan berikutnya mulai disusul Anduk, Awal, dan Angan. Akhirnya, lengkap sudah personil kami.
Disini planning mulai berubah, yang rencana kita akan muncak malam ini, diundur besok malam melihat fisik dari rombongan Jakarta yang sudah pasti teramat lelah. Tetapi Om indra dan Rifki tetap pada planning, mengingat masih ada job menunggu di hari Sabtu. Rombongan summit attack akhirnya terpisah. Malam ini, Om Indra dan Rifki muncak bareng teman-teman dari SMA 4 Jogja dan beberapa dari yang lain. Sedangkan kita ber-10 tidur lelap beralaskan pasir Kalimati dan gemuruh langit yang membahana.
HARI 3 (16 September 2010)
Pagi telah datang, planning hari ini hanyalah menyiapkan fisik untuk summit attack nanti malam. Kami mencoba bermain-main di Sumber Mani, bercanda bersama disana tapi tidak untuk buang hajat bersama :hammer: .
Kamera kami kalungkan di leher, siap untuk mencari hal-hal yang tidak biasa di mata kami sambil mengisi waktu hingga tengah malam tiba.
Sebagian dari kami mulai bereksperiman dengan masakan.
kami juga sembari berolahtaga ke Sumber Mani.
Dan di siang ini saya terlalu sering memutar lagu Cahaya Bulan (OST GIE) dalam dentuman earphone ipod.
… disini ku berdiskusi dengan alam yang lirih
kenapa matahari terbit menghangatkan bumi
aku orang malam yang membicarakan terang
aku orang tenang yang menentang kemenangan oleh pedang…
Siang sudah menjamah, matahari sudah diatas kepala tetapi awan menutupinya. Om Indra dan Rifki mulai terlihat dari kejauhan. Akhirnya, mereka selamat sampai dsini lagii. Dan perlahan awan mendung mulai melingkupi kawasan Kalimati, tak berapa lama hujan mulai menetes dan kami menghentikan semua aktifitas dan kembali ke tenda masing-masing. Om Indra dan Rifki pun mengurungkan niat untuk turun hari itu juga, melihat hujan yang kelihatannya ‘awet’.
Sampai senja menghampiri pun, hujan rintik-rintik masih membasahi tenda ini. Sebagian kami pun sudah terlelap dengan mimpi Mahameru (mungkin).
Alarm handphone butut saya sudah berdering, pukul 22.00. Waktunya bangun, mengisi perut dengan makanan berkalori yang harus bisa bertahan untuk mencapai puncak. Tepat pukul 23.00 semua sudah ready yaitu kita ber-9 dari OANC dan ditambah 1 orang dr Jakarta yaitu Otoy. Satu orang dari kita, Anduk merelakan diri untuk stay di tenda, mengingat dia harus balik Jogja menggunakan motor dari Malang. Tak lupa kami memanjatkan doa, untuk memohon bimbingan yang Kuasa agar kami bisa sampai Puncak bersama dan kembali bersama pula.
Malam itu cerah, teringat sebuah lagu dari Padi yang berjudul Mahadewi,
Hamparan lagit maha sempurna
Bertahta bintang-bintang angkasa
Namun satu bintang yang berpijar.
Teruntai turun menyapa aku
Ada damai yang kurasakan…..
HARI 4 (17 September 2010)
Dinginnya lereng Semeru ini membayangi perjalanan kami. Penunjuk jalan kami, Nesa yang sebelumnya pernah ke Semeru bersama trip Om Utan, menjadi leader kami malam ini. Dan sweeper tetap pada Yudi. Berulang kami beristirahat, berulang kali kami melihat ke atas, dan terasa Mahameru sangat jauh. Arcopodo telah terlewati, perlahan tibalah kami di Cemoro Tunggal. Hari masih gelap, dingin menusuk tulang kami, dan pasir-pasir ini membuat saya sedikit putus asa. Teringat sebuah lagu, Time is Running Out[/I] nya Muse
I won't let you bury it
I won't let you smother it
I won't let you murder it
But our time is running out
But our time is running out
You can't push it underground
You can't stop it screaming out
Semangat muncul kembali, tak henti-hentinya orang yang ada di depan dan belakang saya menyemangati, akhirnyaaaaaaaa…..
Tepat pukul 05.30 saya dan rombongan tiba di PUNCAK MAHAMERU, puncak abadi para dewa
… Mahameru berikan damainya, didalam beku Arcapada
Mahameru sebuah legenda tersisa, puncak abadi para dewa
Masihkah terbesit asa anak cucuku mencumbui pasirnya
Disana nyalimu teruji, oleh ganas cengkraman hutan rimba….
Rasa-rasanya inilah klimax dari perjalanan 3 hari lalu. Inilah tujuan awal kita. Dan sekarang disini kita berdiri. Yaah, sebuah tanah tertinggi di Pulau Jawa. Setidaknya kaki-kaki kami pernah menapakinya walau hanya sesaat.
3676 mdpl
langkah ini gontai, tapi semangat kami tidak putus
pundak ini lemah, tapi hati berkata 'terus'
kaki ini lelah, tapi otak kami tetap maju
langkah demi langkah, kami menyusuri alur itu
tanah datar menjadi persinggahan sementara
nafas mulai menjadi patahan desah
tapi semua terbayarkan...
terbayar dengan symphoni alam yang takkan pernah terenggut
Mahameru, luarbiasa elokmu
kugoreskan kaki kecil ini diatasmu
kupanjatkan doa di atas tanahmu
di tanah tertinggi, pulau ini
Terimakasih Tuhan, kesempatan mencium bau tanah ini
sebuah penghargaan hidup
antara aku, kamu, dan mereka
tetaplah mencintai alam kita
_clara
Pukul 06.30 kami mulai menuruni lereng semeru itu lagi. Dengan tawa yang sumringah kami berjalan beriringan, dan akhirnya terpecah. Rasa-rasanya kami bermain ski diatas pasir dengan trekking pole di tangan. Pasir yang gembur memudahkan kami berlari di kemiringan. Jujur saja, kami tidak tega melihat wajah-wajah lelah dan putus asa para pendaki yang baru akan mencapai Mahameru, tidak sedikit para 160 :mewek . Beruntunglah saya, punya teman2 seperjalanan yang masih menyemangati hingga Mahameru tergapai. You’re great friends. :kiss …..
Hanya 2 jam dari puncak Mahameru sampailah kita di Kalimati tepat pukul 08.30. Waktu yang begitu kontras ketika pendakian. Sampai di Kalimati sebagian dari kami langsung tepar, ada juga yang membuat makan siang dulu seperti saya dan Om Wawo. Pukul 09.00 Om Indra dan Rifki meninggalkan kami untuk turun duluan langsung menuju Ranupane. Mulai pukul 12.00 kami mulai bangun dari tidur dan bersiap-siap packing, melanjutkan perjalanan menuju Ranu Kumbolo.
Dengan candaan ringan tak terasa packing baru selesai pukul 14.00 dan segeralah kami meninggalkan Kalimati, dan bergegas menuju Ranu Kumbolo melihat awan yang tidak mendukung. Mulai Blok Jambangan hujan gerimis mengiringi kita. Dengan dengkul-dengkul yang sedikit racing kami semua mencoba untuk berlari agar sampai di Ranu Kumbolo tidak kemaleman.
Akhirnya sampai di Ranu Kumbolo kurang lebih pukul 16.00 dengan awan yang masih menggelayut dan matahari pun enggan menampakkan dirinya. Setelah beristirahat sejenak, sambil memandang jauh kedepan layaknya melihat bioskop penampakan alam yang luar biasa indahnya.
Spot untuk 4 tenda sudah dipilih. Satu persatu tenda berdiri. Acara memasak pun dimulai, sambil bercengkerama kesana-kesini tanpa henti.
Dan malam pun datang memeluk, dalam belaian lembut angin Ranu Kumbolo kami pun tertidur malam itu. Suasana begitu tenang, nyanyian alam pun mengiringi mimpi-mimpi kami. Suasana seperti inilah, yang membuat saya selalu rindu untuk kembali melangkahkan kaki ke tanah-tanah tertinggi.
HARI 5 (18 September 2010)
Pagi menjelang, dan kami masih melingkar di dalam tenda. Ada yang sudah bersiap mengambil foto, ada yang sekedar mencuci muka, ada juga yang bersiap membuat sarapan. Pagi ini cuaca cerah, bersahabat dengan kepulangan kami. Planning kepulangan dibuat, diputuskan kami pulang melewati Gunung ayak-ayak. Lagi-lagi yang tau medan hanyalah Nesa, dy lagi yang jadi leader kita saat itu.
Pukul 10.00 semua sudah siap, packing rapi, sampah sudah ‘digembol’, dan doa dimulai. Perjalanan dimulai. Memang, pemandangannya diawal bagus banget (kalo saya ngeliat kayak di Juracssic Park sama yang diceritakan buku 5cm) . Tapi medan yang menanjak tidak begitu bersahabat dengan kaki kami yang mulai melemah. Arrrrgh, nanjak lagi dan lagi. Huuuuft,…
Akhirnya sampai di Ranu Pane tepat pukul 14.00, dan jeep sudah menunggu kita untuk kembali ke peradaban.
Yaaah, Semeru… banyak darimu yang kami dapatkan..
sebuah nilai persahabatan.. sebuah nilai kepedulian.. sebuah nilai kerjasama.. sebuah nilai tentang menghargai hidup..
Entah kapan, suatu saat aku akan kembali lagii….
Kita Untuk Selamanya (Bondan Prakoso feat Fade 2 Black)
Bergegaslah kawan sambut masa depan, tetap berpegang tangan, saling berpelukan
Berikan senyuman, sebuah perpisahan, Kenanglah sahabat Kita untuk Selamanya
Sabtu, 16 Oktober 2010
Senin, 11 Oktober 2010
senja
belum lama aku menyukaimu
belum lama pula engkau ku amati begitu dekat
senja..
engkau memberi teduh dalam pekatnya aktifitas
engkau torehkan keindahan dalam pelupuk mata
engkau selalu menemani dalam kesendirian ini
senja..
kini kau kunantikan
ketika gelap mulai mendekap, engkau lepas aku
senja..
aku menyukaimu
sama seperti aku melihat matanya.....
_sebuah senja temaram bersama pikiran tentangmu_
clara
belum lama pula engkau ku amati begitu dekat
senja..
engkau memberi teduh dalam pekatnya aktifitas
engkau torehkan keindahan dalam pelupuk mata
engkau selalu menemani dalam kesendirian ini
senja..
kini kau kunantikan
ketika gelap mulai mendekap, engkau lepas aku
senja..
aku menyukaimu
sama seperti aku melihat matanya.....
_sebuah senja temaram bersama pikiran tentangmu_
clara
3676 mdpl
langkah ini gontai, tapi semangat kami tidak putus
pundak ini lemah, tapi hati berkata 'terus'
kaki ini lelah, tapi otak kami tetap maju
langkah demi langkah, kami menyusuri alur itu
tanah datar menjadi persinggahan sementara
nafas mulai menjadi patahan desah
tapi semua terbayarkan...
terbayar dengan symphoni alam yang takkan pernah terenggut
Mahameru, luarbiasa elokmu
kugoreskan kaki kecil ini diatasmu
kupanjatkan doa di atas tanahmu
di tanah tertinggi, pulau ini
Terimakasih Tuhan, kesempatan mencium bau tanah ini
sebuah penghargaan hidup
antara aku, kamu, dan mereka
tetaplah mencintai alam kita
_clara
pundak ini lemah, tapi hati berkata 'terus'
kaki ini lelah, tapi otak kami tetap maju
langkah demi langkah, kami menyusuri alur itu
tanah datar menjadi persinggahan sementara
nafas mulai menjadi patahan desah
tapi semua terbayarkan...
terbayar dengan symphoni alam yang takkan pernah terenggut
Mahameru, luarbiasa elokmu
kugoreskan kaki kecil ini diatasmu
kupanjatkan doa di atas tanahmu
di tanah tertinggi, pulau ini
Terimakasih Tuhan, kesempatan mencium bau tanah ini
sebuah penghargaan hidup
antara aku, kamu, dan mereka
tetaplah mencintai alam kita
_clara
Selasa, 27 Juli 2010
...Ketika Garuda perlahan mulai tersapu...
butiran pasir menyeruak dalam pijakan
debu menggambar jelas dalam pandangan
batuan bergemuruh melawan gravitasi
lama sudah penantian ini...
Puncak Garuda dalam naungan Sang Merapi
Kini hilang, tinggallah sisamu yang masih berdiri tegak
Berdiri bersama Sang Saka Merah Putih yang berkibar
Tetaplah menjadi misteri
Tetaplah kau bersih walaupun gersang bersamamu
karena di dalam engkau mereka masih setia dalam sesaji..
_claracliricluru_
Selasa, 13 Juli 2010
Keindahan Mahkota Gede-Pangrango di Jawa Barat
Selasa, 6 Juli 2010
Perjuanganku dimulai dari hari Selasa 6 Juli 2010. Dimulai dari Terminal Bungurasih pada 18.00. Kenjengahan muncul disini, bus PO Ma**r mulai merambat menuju ibukota. Perjalanan 20 jam pun dimulai. Kebosanan yang teramat menyiksa, dan membuat ‘kapok’. Gak bakalan lagi deh naik bus jurusan Surabaya-Jakarta ataupun sebaliknya.
Rabu, 7 Juli 2010
Sampai di Terminal Pulo Gadung pukul 14.00 dengan rasa lelah dan kebosanan yang sudah memuncak. Akhirnya ketemu juga dengan Prisma (sepupu) yang menjemputku. Begitu sampai di Bekasi, mandi, bongkar packingan, checking, dan melengkapi ulang yang perlengkapan kurang. Waktu terasa cepat untuk persiapan ini.
Pukul 22.00, aku, Yogi dan Ferly janjian untuk ketemu di Kampung Rambutan untuk langsung berangkat ke Cibodas. Setelah kita ketemu naiklah kita bus menuju Puncak dengan ongkos per orang Rp 15.000. Mungkin dari kami bertiga sama-sama lelah dengan aktivitas masing-masing di hari itu, tak terasa kami telah melewati Cimacan. Dengan terpaksa akhirnya kami berjalan kaki kembali menuju pertigaan yang menuju Cibodas. Dibutuhkan waktu sekitar 20 menit berjalan kaki untuk kembali.
Kamis, 8 Juli 2010
Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Ferly menyempatkan untuk makan bubur di pertigaan itu. Karena angkutan yang ada disitu minim karena masih tengah malam, kami memutuskan untuk naik ojek. Tapi karena hanya 2 motor, jadinya aku dan ferly “cenglu” (bonceng telu) sama mang ojek itu dan Yogi yang membawa karier double bareng ma mang ojek satunya. FYI ojek Cimacan-Cibodas sekitar Rp 6000.
Sampai di tempat ‘mang Idi’ sekitar pukul 02.00 kami pesen teh anget dan si Yogi pun mulai kelaparan tampaknya dan ia memesan mie rebus. Setelah isi perut selesai dan tampaknya semua sudah mulai ngantuk, akhirnya kami tidur di pojokan di dalam warung Mang Idi. Pagi itu mulai banyak “penghuni baru” yang menempati warung Mang Idi.
Ketika aku terbangun, hari sudah terang benderang dan waktu telah menunjukkan pukul 07.00. Setelah beres-beres dan sarapan di tempat Mang Idi, kami memantapkan planning kami untuk pendakian ini sambil nunggu jam 08.00 (jam buka kantor TNGGP).
Pukul 08.00, kami berpamitan kepada Mang Idi dan mulai mengurus simaksi di kantor TNGGP. Prosedur yang ketat mulai dari salahpaham soal perpanjangan simaksi, menjawab kuis, hingga harus fotokopi sendiri data-data yang diperlukan membuat waktu kami terbuang lama di kantor TNGGP.
Kurang lebih pukul 10.20 kita baru keluar dari kantor TNGGP ini. Perjalanan dimulai menuju basecamp bawah, dan menyerahkan data barang bawaan yang nanti menjadi sampah ke petugas.
Pendakian dimulai tapat pukul 10.35 dari basecamp bawah. Sampai di Pos 1 pukul 10.50.
Dan Pos kedua adalah Telaga Biru tepat pukul 11.20. Disini ada sebuah telaga yang airnya berwarna hijau tosca karena ditumbuhi banyak alga. Pos ketiga di Panyangcangan (pertigaan antara jalur pendakian Gepang dan Air Terjun Cibereum) pada pukul 12.00. Disini hujan mulai mengguyur,dan kami beristirahat sejenak. Karena hujan tak mulai reda akhirnya kami memutuskan untuk merambat naik di tengah derasnya hujan yang turun. Sampailah kita di Air Panas, air yang merembes ke sepatu memang terasa hangat, dan bau belerang menyertai langkah kami. Sampai di Pos Pemandangan setelah Air Panas sekitar pukul 15.30. Kami memutuskan untuk makan siang dulu disini.
Perjalanan kami lanjutkan pukul 16.15. Sampai di Pos Kandang Batu pukul 16.23, karena tenaga baru saja terisi kami memutuskan untuk tidak istirahat tapi langsung melanjutkan perjalanan menuju Kandang Badak mengingat hari telah mulai sore.
Sampai di Pos Kandang Badak pukul 17.35. Planning yang tadinya ingin camp di Mandalawangi kami urungkan, karena hari telah sore dan pengalaman Ferly tentang trekking menuju Puncak Pangrango yang cukup berat dan curam. Akhirnya kami buka tenda disini. Setelah beres-beres, makan malam, dan ngobrol-ngobrol dengan pendaki lain, akhirnya kami tidur untuk meng-charge tenaga untuk pendakian Pangrango esok hari.
Jumat, 9 Juli 2010
Setelah kami bangun pagi, dan mulai sarapan kami membuat planning hari itu. Kami memutuskan untuk meninggalkan tenda dan hanya membawa 1 karier untuk logistic yang akan kami bawa ke Puncak Pangrango. Tenda, pelengkapan tidurm dan barang-barang yang sekiranya tidak perlu, kami tinggalkan di Kandang Badak.
Perjalanan kami mulai pukul 08.30 dari Kandang Badak. Rute trekking ini cukup membuat kami sempoyongan. Jalur Kandang Bdak- Puncak Pangrango lumayan curam dan jalan yang cukup sempit (jalur air) membuat badan kami tersangkut dengan ranting-ranting. Sampailah kami di Puncak Pangrango pukul 12.00.
Di Puncak Pangrango ada seperti tugu setinggi 150cm berwarna hijau dan semua gubuk kecil yang telah mulai rusak. Puncak Pangrango tidak seperti puncak gunung lain yang terbuka lebar. Puncak ini banyak ditumbuhi pohon-pohon dan kita kalau beruntung masih bisa memandang Puncak Gede di seberangnya. Gerimis mulai mengundang, kami percepat langkah kami untuk segera turun ke Lembah Mandalawangi.
Takjub dan terpukau. Itulah yang kurasakan saat Mandalawangi ada di depan mata. Lahan 5 hektar yang ditumbuhi edelweiss ‘bunga keabadian’. Luar biasa. It’s real. Salah satu ciptaan tangan Tuhan yang sungguh aku kagumi. Pantas saja Soe hok Gie menjadikan Mandalawangi tempat favoritnya.
Ketika ‘keabadian’ di Mandalawangi
Ketika kaki ini berjalan, bersama lelah menjuntai
Ketika tangan ini meraih akar untuk sebuah keseimbangan
Ketika badan ini membungkuk untuk menghindar
Ketika pundak ini terasa berat menahan beban
Ketika pikiran ini mulai terasa kosong dan hanya harapan yang tersisa
Dan ketika itu pula aku melihat keindahanmu, Mandalawangi
Takkan pernah lelah mata ini memandang
Air mata yang terurai bersama ketakjuban ukiran tangan Tuhan
Airmu membasahi muka dan raga
Edelweismu yang memanjakan retina mata
Dinginnya kabutmu menyelimuti
Tanahmu yang basah dan hangat
Anginmu yang menyentuh kulit
Semua yang ada padamu, Mandalawangi, aku mencintainya
Ingin ku memelukmu dan menciummu
Ingin ku bersamamu menikmati dan bersyukur tentang kehidupan ini
Ingin ku mengurai cinta dan keabadian hidup bersamamu
Ingin ku berjalan dalam ribaanmu yang agung
Mandalawangi, tunggu aku disana (lagi)…
Dengan sebuah asa dan cinta yang tersisa
_claracliricluru_
Di Mandalawangi kami makan siang bersama guyuran hujan yang cukup lebat. Perjalanan turun kami mulai pukul 13.40 bersama rintikan hujan yang berubah menjadi tumpahan hujan yang cukup membuat jalan licin dan membuat kami sering terpeleset. Sampailah kami di Kandang Badak pukul 15.30.
Setelah kami beristirahat sejenak, datanglah temen-teman dari OANCeh Bogor rombongan Kang Hadi dan Dimas tepat pukul 16.30, dan terakhir datang adalah Bang Nandar pukul 17.30. Setelah kami banyak berbincang dan berkenalan kami memulai malam kedua ini di Kandang Badak (lagi).
Sabtu, 10 Juli 2010
Ritual pagi dimulai. Mulai dari buang hajat, ngisi perut (lagi), bongkar tenda, dan packing untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Kami meninggalkan kandang tepat pukul 09.30. Perlahan tapi pasti kami mulai merangkak naik. Tibalah kami di ‘Tanjakan Rantai’ pada pukul 10.30.
Di Tanjakan inilah adrenalin mulai teruji. Dengan ketinggian sekitar ± 80m dan kemiringan ±70-80o dan tali yang mulai rapuh dan tidak meyakinkan kami harus merambat naik perlahan. Dan mulailah kita memasuki batas vegetasi yang berarti puncak sudah mulai dekat.
Tepat pukul 12.00 sampailah kita di Puncak Gede. Setelah berjalan, dan berfoto-foto ria selama 1.5 jam kami memutuskan untuk turun ke Surya Kencana. Medan bebatuan cukup membuat kaki kami kesakitan menahan turunan. Sampai di Surya Kencana tepat pukul 14.30. Disini kami memulai makan siang ditemani kabut yang mulai menebal yang hilang-muncul.
Surya Kencana penuh dengan dome-dome para pendaki lain. Surya Kencana lebih mirip camping ground, saya rasa. Karena itulah saya lebih memilih sepinya Mandalawangi.
Keluar dari Surya Kencana pukul 16.00. Perjalanan kami lanjutkan melewati rute Gunung Putri. Rute turun ini cukup menguras tenaga kami. Karena banyaknya akar pohon yang melintang kalau tidak hati-hati cukup membawa celaka. Dalam perjalanan ini 2x disini saya nyaris celaka terjatuh dari ketinggian 3 meter dengan batu-batu yang cukup lancip dibawah. Kami mempercepat langkah kami, karena gelap sudah mulai membayangi. Pos demi pos kami lewati, begitu sampai di Pos 1, medan menjadi tangga yang cukup curam dan membuat lelah.
Finally, sampailah kami di Pos GPO (Gede-Pangrango Operation) tepat pukul 20.30. Sampah yang kami bawa dan kami kumpulkan kami buang disini. Setelah mengurus simaksi di pintu keluar ini, kami turun dan mampir di warung penduduk. Disini kami ber-enam makan dan bercerita kesana-kemari.
Begitu selesai mulailah kami berjalan menuju jalan raya Cipanas. Kami berjalan di aspal turunan sekitar 4.5 km. Cukup jauh buat saya. Setelah sampai di jalan raya, kami menaiki angkot cipanas-puncak dengan sopir yang kelihatannya ngantuk berat. Terlihat dari cara nyopirnya yang sedikit ugal-ugalan.
Sampai di puncak kita menginap di emperan masjid At Ta’awun. Akhirnya satu persatu kami mulai terlelap disini. Perlahan-lahan adzan subuh membangunkan kami. Bergegaslah kami untuk segera membereskan tempat yang telah kami tiduri. Dan kami mulai mencari angkot untuk ke terminal Bogor. Dapatlah kami angkot dengan sopir yang mabok dan FYI di didalam angkot ini full–music RnB dan pop indo dengan suara yang cukup memekakkan telinga. Jelas saja kami jantungan dengan sopir yang gaya sopirnya seperti di ‘tokyo drift’ tapi tidak beraturan.
Setelah sampai di Terminal Bogor, aku dan Yogi berpisah dengan rombongan untuk mencari bus Bogor-Bekasi. Sedangkan Bang Nandar, Kang Hadi, Dimas, dan Ferly mencari angkot untuk pulang kerumah masing-masing..
--END—
• makasi buat Jesus udah nemeni dan berkati perjalanan double summit ini sepanjang waktu.
• Buat ibu dan mas gembong, makasi buat doanya dan financial yang udah diberikan.
• Buat bapak, makasi juga buat restunya bisa sampai puncak
• Teman seperjalanan Yogi, Ferly, Bang Nandar, Kang Hadi, dan Dimas yang udah mau dengerin cerewetku dan dengan sabar nungguin aku yang paling lelet..
• Buncit yang udah bantuin beliin tiket jkt-sby, walaupun harus merangkak ke HardRock.
• Dan semuaaaaaanya… tengkieeess all…
Perjuanganku dimulai dari hari Selasa 6 Juli 2010. Dimulai dari Terminal Bungurasih pada 18.00. Kenjengahan muncul disini, bus PO Ma**r mulai merambat menuju ibukota. Perjalanan 20 jam pun dimulai. Kebosanan yang teramat menyiksa, dan membuat ‘kapok’. Gak bakalan lagi deh naik bus jurusan Surabaya-Jakarta ataupun sebaliknya.
Rabu, 7 Juli 2010
Sampai di Terminal Pulo Gadung pukul 14.00 dengan rasa lelah dan kebosanan yang sudah memuncak. Akhirnya ketemu juga dengan Prisma (sepupu) yang menjemputku. Begitu sampai di Bekasi, mandi, bongkar packingan, checking, dan melengkapi ulang yang perlengkapan kurang. Waktu terasa cepat untuk persiapan ini.
Pukul 22.00, aku, Yogi dan Ferly janjian untuk ketemu di Kampung Rambutan untuk langsung berangkat ke Cibodas. Setelah kita ketemu naiklah kita bus menuju Puncak dengan ongkos per orang Rp 15.000. Mungkin dari kami bertiga sama-sama lelah dengan aktivitas masing-masing di hari itu, tak terasa kami telah melewati Cimacan. Dengan terpaksa akhirnya kami berjalan kaki kembali menuju pertigaan yang menuju Cibodas. Dibutuhkan waktu sekitar 20 menit berjalan kaki untuk kembali.
Kamis, 8 Juli 2010
Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Ferly menyempatkan untuk makan bubur di pertigaan itu. Karena angkutan yang ada disitu minim karena masih tengah malam, kami memutuskan untuk naik ojek. Tapi karena hanya 2 motor, jadinya aku dan ferly “cenglu” (bonceng telu) sama mang ojek itu dan Yogi yang membawa karier double bareng ma mang ojek satunya. FYI ojek Cimacan-Cibodas sekitar Rp 6000.
Sampai di tempat ‘mang Idi’ sekitar pukul 02.00 kami pesen teh anget dan si Yogi pun mulai kelaparan tampaknya dan ia memesan mie rebus. Setelah isi perut selesai dan tampaknya semua sudah mulai ngantuk, akhirnya kami tidur di pojokan di dalam warung Mang Idi. Pagi itu mulai banyak “penghuni baru” yang menempati warung Mang Idi.
Ketika aku terbangun, hari sudah terang benderang dan waktu telah menunjukkan pukul 07.00. Setelah beres-beres dan sarapan di tempat Mang Idi, kami memantapkan planning kami untuk pendakian ini sambil nunggu jam 08.00 (jam buka kantor TNGGP).
Pukul 08.00, kami berpamitan kepada Mang Idi dan mulai mengurus simaksi di kantor TNGGP. Prosedur yang ketat mulai dari salahpaham soal perpanjangan simaksi, menjawab kuis, hingga harus fotokopi sendiri data-data yang diperlukan membuat waktu kami terbuang lama di kantor TNGGP.
Kurang lebih pukul 10.20 kita baru keluar dari kantor TNGGP ini. Perjalanan dimulai menuju basecamp bawah, dan menyerahkan data barang bawaan yang nanti menjadi sampah ke petugas.
Pendakian dimulai tapat pukul 10.35 dari basecamp bawah. Sampai di Pos 1 pukul 10.50.
Dan Pos kedua adalah Telaga Biru tepat pukul 11.20. Disini ada sebuah telaga yang airnya berwarna hijau tosca karena ditumbuhi banyak alga. Pos ketiga di Panyangcangan (pertigaan antara jalur pendakian Gepang dan Air Terjun Cibereum) pada pukul 12.00. Disini hujan mulai mengguyur,dan kami beristirahat sejenak. Karena hujan tak mulai reda akhirnya kami memutuskan untuk merambat naik di tengah derasnya hujan yang turun. Sampailah kita di Air Panas, air yang merembes ke sepatu memang terasa hangat, dan bau belerang menyertai langkah kami. Sampai di Pos Pemandangan setelah Air Panas sekitar pukul 15.30. Kami memutuskan untuk makan siang dulu disini.
Perjalanan kami lanjutkan pukul 16.15. Sampai di Pos Kandang Batu pukul 16.23, karena tenaga baru saja terisi kami memutuskan untuk tidak istirahat tapi langsung melanjutkan perjalanan menuju Kandang Badak mengingat hari telah mulai sore.
Sampai di Pos Kandang Badak pukul 17.35. Planning yang tadinya ingin camp di Mandalawangi kami urungkan, karena hari telah sore dan pengalaman Ferly tentang trekking menuju Puncak Pangrango yang cukup berat dan curam. Akhirnya kami buka tenda disini. Setelah beres-beres, makan malam, dan ngobrol-ngobrol dengan pendaki lain, akhirnya kami tidur untuk meng-charge tenaga untuk pendakian Pangrango esok hari.
Jumat, 9 Juli 2010
Setelah kami bangun pagi, dan mulai sarapan kami membuat planning hari itu. Kami memutuskan untuk meninggalkan tenda dan hanya membawa 1 karier untuk logistic yang akan kami bawa ke Puncak Pangrango. Tenda, pelengkapan tidurm dan barang-barang yang sekiranya tidak perlu, kami tinggalkan di Kandang Badak.
Perjalanan kami mulai pukul 08.30 dari Kandang Badak. Rute trekking ini cukup membuat kami sempoyongan. Jalur Kandang Bdak- Puncak Pangrango lumayan curam dan jalan yang cukup sempit (jalur air) membuat badan kami tersangkut dengan ranting-ranting. Sampailah kami di Puncak Pangrango pukul 12.00.
Di Puncak Pangrango ada seperti tugu setinggi 150cm berwarna hijau dan semua gubuk kecil yang telah mulai rusak. Puncak Pangrango tidak seperti puncak gunung lain yang terbuka lebar. Puncak ini banyak ditumbuhi pohon-pohon dan kita kalau beruntung masih bisa memandang Puncak Gede di seberangnya. Gerimis mulai mengundang, kami percepat langkah kami untuk segera turun ke Lembah Mandalawangi.
Takjub dan terpukau. Itulah yang kurasakan saat Mandalawangi ada di depan mata. Lahan 5 hektar yang ditumbuhi edelweiss ‘bunga keabadian’. Luar biasa. It’s real. Salah satu ciptaan tangan Tuhan yang sungguh aku kagumi. Pantas saja Soe hok Gie menjadikan Mandalawangi tempat favoritnya.
Ketika ‘keabadian’ di Mandalawangi
Ketika kaki ini berjalan, bersama lelah menjuntai
Ketika tangan ini meraih akar untuk sebuah keseimbangan
Ketika badan ini membungkuk untuk menghindar
Ketika pundak ini terasa berat menahan beban
Ketika pikiran ini mulai terasa kosong dan hanya harapan yang tersisa
Dan ketika itu pula aku melihat keindahanmu, Mandalawangi
Takkan pernah lelah mata ini memandang
Air mata yang terurai bersama ketakjuban ukiran tangan Tuhan
Airmu membasahi muka dan raga
Edelweismu yang memanjakan retina mata
Dinginnya kabutmu menyelimuti
Tanahmu yang basah dan hangat
Anginmu yang menyentuh kulit
Semua yang ada padamu, Mandalawangi, aku mencintainya
Ingin ku memelukmu dan menciummu
Ingin ku bersamamu menikmati dan bersyukur tentang kehidupan ini
Ingin ku mengurai cinta dan keabadian hidup bersamamu
Ingin ku berjalan dalam ribaanmu yang agung
Mandalawangi, tunggu aku disana (lagi)…
Dengan sebuah asa dan cinta yang tersisa
_claracliricluru_
Di Mandalawangi kami makan siang bersama guyuran hujan yang cukup lebat. Perjalanan turun kami mulai pukul 13.40 bersama rintikan hujan yang berubah menjadi tumpahan hujan yang cukup membuat jalan licin dan membuat kami sering terpeleset. Sampailah kami di Kandang Badak pukul 15.30.
Setelah kami beristirahat sejenak, datanglah temen-teman dari OANCeh Bogor rombongan Kang Hadi dan Dimas tepat pukul 16.30, dan terakhir datang adalah Bang Nandar pukul 17.30. Setelah kami banyak berbincang dan berkenalan kami memulai malam kedua ini di Kandang Badak (lagi).
Sabtu, 10 Juli 2010
Ritual pagi dimulai. Mulai dari buang hajat, ngisi perut (lagi), bongkar tenda, dan packing untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Kami meninggalkan kandang tepat pukul 09.30. Perlahan tapi pasti kami mulai merangkak naik. Tibalah kami di ‘Tanjakan Rantai’ pada pukul 10.30.
Di Tanjakan inilah adrenalin mulai teruji. Dengan ketinggian sekitar ± 80m dan kemiringan ±70-80o dan tali yang mulai rapuh dan tidak meyakinkan kami harus merambat naik perlahan. Dan mulailah kita memasuki batas vegetasi yang berarti puncak sudah mulai dekat.
Tepat pukul 12.00 sampailah kita di Puncak Gede. Setelah berjalan, dan berfoto-foto ria selama 1.5 jam kami memutuskan untuk turun ke Surya Kencana. Medan bebatuan cukup membuat kaki kami kesakitan menahan turunan. Sampai di Surya Kencana tepat pukul 14.30. Disini kami memulai makan siang ditemani kabut yang mulai menebal yang hilang-muncul.
Surya Kencana penuh dengan dome-dome para pendaki lain. Surya Kencana lebih mirip camping ground, saya rasa. Karena itulah saya lebih memilih sepinya Mandalawangi.
Keluar dari Surya Kencana pukul 16.00. Perjalanan kami lanjutkan melewati rute Gunung Putri. Rute turun ini cukup menguras tenaga kami. Karena banyaknya akar pohon yang melintang kalau tidak hati-hati cukup membawa celaka. Dalam perjalanan ini 2x disini saya nyaris celaka terjatuh dari ketinggian 3 meter dengan batu-batu yang cukup lancip dibawah. Kami mempercepat langkah kami, karena gelap sudah mulai membayangi. Pos demi pos kami lewati, begitu sampai di Pos 1, medan menjadi tangga yang cukup curam dan membuat lelah.
Finally, sampailah kami di Pos GPO (Gede-Pangrango Operation) tepat pukul 20.30. Sampah yang kami bawa dan kami kumpulkan kami buang disini. Setelah mengurus simaksi di pintu keluar ini, kami turun dan mampir di warung penduduk. Disini kami ber-enam makan dan bercerita kesana-kemari.
Begitu selesai mulailah kami berjalan menuju jalan raya Cipanas. Kami berjalan di aspal turunan sekitar 4.5 km. Cukup jauh buat saya. Setelah sampai di jalan raya, kami menaiki angkot cipanas-puncak dengan sopir yang kelihatannya ngantuk berat. Terlihat dari cara nyopirnya yang sedikit ugal-ugalan.
Sampai di puncak kita menginap di emperan masjid At Ta’awun. Akhirnya satu persatu kami mulai terlelap disini. Perlahan-lahan adzan subuh membangunkan kami. Bergegaslah kami untuk segera membereskan tempat yang telah kami tiduri. Dan kami mulai mencari angkot untuk ke terminal Bogor. Dapatlah kami angkot dengan sopir yang mabok dan FYI di didalam angkot ini full–music RnB dan pop indo dengan suara yang cukup memekakkan telinga. Jelas saja kami jantungan dengan sopir yang gaya sopirnya seperti di ‘tokyo drift’ tapi tidak beraturan.
Setelah sampai di Terminal Bogor, aku dan Yogi berpisah dengan rombongan untuk mencari bus Bogor-Bekasi. Sedangkan Bang Nandar, Kang Hadi, Dimas, dan Ferly mencari angkot untuk pulang kerumah masing-masing..
--END—
• makasi buat Jesus udah nemeni dan berkati perjalanan double summit ini sepanjang waktu.
• Buat ibu dan mas gembong, makasi buat doanya dan financial yang udah diberikan.
• Buat bapak, makasi juga buat restunya bisa sampai puncak
• Teman seperjalanan Yogi, Ferly, Bang Nandar, Kang Hadi, dan Dimas yang udah mau dengerin cerewetku dan dengan sabar nungguin aku yang paling lelet..
• Buncit yang udah bantuin beliin tiket jkt-sby, walaupun harus merangkak ke HardRock.
• Dan semuaaaaaanya… tengkieeess all…
Minggu, 06 Juni 2010
Menghargai Hidup dan Kehidupan dengan Mendaki Gunung
Sedikit sekali orang yang bisa memahami keadaan seseorang atau keadaan sekitarnya, jika ia tidak terjun langsung atau mengalami apa yang dirasakan seseorang dalam kehidupannya.
Pencinta Alam atau biasa disebut PA, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang – orang ini. Dengan ransel serat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah. Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik Gunung. Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, hi…!!!!!!!”
Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri yang penuh, kuat dan mantap mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang normal seketika menjadi naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas yang tak henti – hentinya mencibir mereka. Dan begitu segalanya terjadi, tak ada lagi yang bisa berkata bahwa mereka adalah pembual !!!!!
Peduli pada alam membuat siapapun akan lebih peduli pada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri. Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang kerap disebut petualang ini. Mendaki gunung bukan berarti menaklukan alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri dari keegoisan pribadi. Mendaki gunung adalah kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama.
Dan menjadi salah satu dari mereka bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka sudah menyinggung soal kematian yang memang tampaknya lebih dekat pada orang - orang yang terjun di alam bebas ini. “Mati muda yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, di gunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir. Tidak di gunung pun, kalau mau mati ya matilah…!!! Kalau selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin kita tidak akan mengenal Columbus penemu Benua Amerika.
Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan, ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya. Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan.
Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya. Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akan kembali ke urat akar di mana dia hidup.
Ya, menghargai hidup adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak. Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula kita menghargai hidup.
Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa kasih sayangnya.
Kalau golongan mayoritas masih terus saja berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah. Karena siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang menaifkan hal ini. Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara di mana mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh para petualang ini, yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian. Coba deh….!!!!!!!!
dikutip dari EAN Edisi 24 November – Desember 2002 dengan sedikit perubahan
Pencinta Alam atau biasa disebut PA, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang – orang ini. Dengan ransel serat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah. Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik Gunung. Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, hi…!!!!!!!”
Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri yang penuh, kuat dan mantap mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang normal seketika menjadi naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas yang tak henti – hentinya mencibir mereka. Dan begitu segalanya terjadi, tak ada lagi yang bisa berkata bahwa mereka adalah pembual !!!!!
Peduli pada alam membuat siapapun akan lebih peduli pada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri. Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang kerap disebut petualang ini. Mendaki gunung bukan berarti menaklukan alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri dari keegoisan pribadi. Mendaki gunung adalah kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama.
Dan menjadi salah satu dari mereka bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka sudah menyinggung soal kematian yang memang tampaknya lebih dekat pada orang - orang yang terjun di alam bebas ini. “Mati muda yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, di gunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir. Tidak di gunung pun, kalau mau mati ya matilah…!!! Kalau selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin kita tidak akan mengenal Columbus penemu Benua Amerika.
Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan, ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya. Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan.
Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya. Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akan kembali ke urat akar di mana dia hidup.
Ya, menghargai hidup adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak. Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula kita menghargai hidup.
Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa kasih sayangnya.
Kalau golongan mayoritas masih terus saja berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah. Karena siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang menaifkan hal ini. Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara di mana mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh para petualang ini, yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian. Coba deh….!!!!!!!!
dikutip dari EAN Edisi 24 November – Desember 2002 dengan sedikit perubahan
Kamis, 03 Juni 2010
sebuah perjalanan hati menuju Sang Arjuna
Terkadang ide, niat, dan tekad yang bulat membuatnya menjadi kenyataan. Inilah yang saya alami. Tanpa ada dukungan personil dari organisasi saya, saya bertekad mencapai summit. Dengan tujuan awal double summit Arjuno Welirang. Walaupun ujungnya cuma satu summit yang dicapai, tapi banyak cerita yang saya alami.
Akhirnya ada salah satu teman yang dari Semarang yang teracuni untuk mau menemani saya untuk muncak. Semua dibicarakan di YM dan telpon. Pas hari H – 27 Mei 2010, kita bertemu di terminal Bungurasih. Perjalanan dimulai menuju Pandaan pada pukul 08.45 dari Surabaya. Tiba di Pandaan pukul 09.30. Lanjut untuk mencari angkot ke daerah Tretes turun di depan hotel Tanjung (Perijinan PHPS).
Dari awal feeling berasa aneh. Ternyata perijinan pendakian Arjuno-Welirang DITUTUP. Duaaarrrrrr!! Jauh-jauh kesini ditutup. Gimana gak frustasi coba!! Trus ketemu dengan 2 orang yang sepertinya mau mendaki juga. Namanya Mas Agung dan Om Budi. Setelah ngobrol sambil makan di warung dekat perijinan, saya baru tau kalo sebenarnya tidak masalah untuk muncak, tapi dengan catatan kalo ada apa-apa Perhutani tidak bertanggung jawab.
Diputuskan akhirnya saya dan Fajar (teman dari Semarang) ikut rombongan Om Budi dan Mas Agung. Perjalanan dimulai pukul 11.45 melewati jalanan Makadam (batuan yang tersusun rapi).
Tiba di Pet Bocor pukul 12.15. Perjalanan dilanjutkan menuju Shelter I Kop-kopan. Perjalanan cukup melelahkan. Sedikit bonus, Nanjak mulu.
Tiba disana pukul 17.30. Berhubung Fajar yang membawa double bag terlihat capek, kita putuskan nge-camp sambil nunggu Om Budi dan Mas Agung yang masih tertinggal di belakang.
Tenda terpasang, acara masak pun dimulai, dan akhirnya terdengar suara langkah kaki. Dalam hati berharap itu Om Budi dan Mas Agung. Yess, It’s True! Berhubung kita udah masak, kita tawarin deh tuh mie rebus ma kopi ke mereka. Jadi malam itu jadwalnya adalah TIDUR. Tengah malam mulai terdengar suara berisik ternyata banyak pendaki-pendaki yang nge-camp juga.
Jumat 28 Mei 2010
Sunrise di Kop-kopan. Begitu buka tenda “baaaaaa” banyak juga yang nge-camp. Mungkin sekitar 30 orang disitu. Rombongan Om Budi pun bertambah. Yang semula cuma Om Budi dan Mas Agung, bertambah 8 orang menjadi 10 orang. Dan beruntunglah diriku, ada salah satu yang berjenis kelamin wanita diantara mereka. Setidaknya saya ada temennya gituu.. hehehee..
Setelah masak, bongkar tenda, packing, dan beres-beres, ritual doa, dll berangkatlah kita naik menuju Pondokan pada pukul 08.30. Jalur yang terjal dan senda gurau yang tidak jelas membuat perjalanan menjadi cukup lambat karena kami banyak berhenti untuk istirahat dan makan siang pukul 13.15. Di perjalanan bertemulah dengan gubug pengangkut belerang. Biasa disebut Kop-kopan Baru. Baru istiraat sebentar, rintik-rintik hujan mulai membasahi dan akhirnya breesss.. Hujan deras datang. Berteduhlah kami di “gubug derita” itu sambil menunggu 2 orang yang menjadi sapu ranjau (sweeping) yaitu Om Budi dan Yudi. Hujan cukup lama, berinisiatiflah kami membakar tempura yang dibawa rombongan Om Budi diatas api unggun yang kita bikin di dalam gubug itu. Memang dalam keadaan apapun di gunung bagi saya apapun makanannya tetap enak untuk ditelan. *dasar rakus!!!!
Waktu sudah menunjukkan 14.50, hujan sudah berhenti dan akhirnya perjalanan dilanjutkan menuju Pondokan. Perlahan tapi pasti, sampailah kita di Pondokan pukul 15.20.
Sebenarnya ada rencana untuk nge-camp di Lembah Kijang, tapi berhubung anak-anak udah pada buka tenda dan mulai masak, jadilah kita nge-camp di Pondokan. Malam itu saya merasa menemukan keluarga baru. Rasanya saya ada di dalam mereka walaupun baru kenal beberapa jam lamanya. Setelah makan malam, yang menurut saya seperti “dog food” dan saya tetap enjoy untuk memakannya. Kami bercengkrama. Ya istilahnya bertukar pikiran gitu lah. Benar-benar keluarga yang baru dan seru buat saya.
Cuaca malam itu sungguh luar biasa. Tepat pas bulan purnama. Sungguh pemandangan yang saya jarang jumpai di setiap pendakian saya. Malam itu saya berempat dengan Om Budi, Bang Joni, dan si Batu tidur di luar. Entah karena kedinginan atau ketakutan gara-gara “mumun” (sebutan setan) Bang Joni dan Om Budi pindah masuk ke dalam tenda. Tinggallah saya dan si Batu tidur di luar berselimutkan SB, tenda, dan semacam flysheet.
Sabtu, 29 Mei 2010
Pagi datang, breakfast dimulai, buang hajat dilaksanakan, packing dilakukan. Berangkat dari Pondokan menuju Lembah Kijang pukul 08.45. Selama di perjalanan, canda dan tawa masih menghampiri kita. Tiba di Lembah Kijang pukul 09.25, foto-foto sebentar dan melanjutkan perjalanan menuju Puncak Sang Arjuno.
Jalur yang hampir 90% nge-trek puoll membuat canda dan tawa perlahan-lahan pergi. Hampir-hampir kami keseringan istirahat. Bahkan ada salah satu teman cewek kami mengalami maag. Jadi sering sekali kami berhenti untuk rehat. Tibalah kami di Puncak Bayangan / Semu / apapun itu namanya pokoknya tanah datar dekat tempat memoriam para pendaki yang telah tiada.
Bikinlah kami tenda disitu, melihat kepayahan dari tim kami dan sudah ada beberapa dari kami yang memasak. Waaah.. cocok bener daah, udara dingin, makan yang anget-anget. Mantap pisan cuuy!! Seingat saya setelah makan malam, kami tidak mengadakan ritual apapun melihat suhu yang begitu rendah disini. Dan kami langsung masuk ke tenda dan tiduur. Tapi ada beberapa dari kami seperti Om Budi, Mas Agung, Bang Joni, Yudi, Om Gendon, sama Yosef masih bernyanyi2 di tengah suasana malam yang cukup mencekam karena banyaknya petir dan kilat yang ada.
MInggu, 30 Mei 2010
Akhirnya hujan datanglaah pada dini hari sekitar pukul 3, salah satu dome mengalami kebocoran, dan berujung ngunsi di dome satunya. Dome yang biasa buat 5 orang diisi 12 orang. Hadeeh, uanggeet empet-empetan dengan posisi duduk...
Yudi yang bertugas masak pagi itu, membikin sarapan untuk isi perut sebelum muncak..Tepat jam 5 dari tempat kami ngecamp, berangkatlah kami untuk muncak. Kabut tebal mengiringi kami. Perlahan tapi pasti kami mulai berjalan, sekitar setengah jam, sampailah kita si tempat yang ditunggu
Akhirnyaaaaaaaa
Puncak oh Puncak dari Arjuno ....
Aku bisa mencapaimu juga bersama keluarga baru, bersama harapan baru... Legaaa rasanya.... Aku ada diatas awan, dan aku bisa melihat awan ad di bawahku..
yaaah, 3339 mdpl sungguh luar biasa... Dari sini pun aku bisa melihat Penanggungan dan kecil, gagahnya Semeru dan saudara kembarmu Sang Welirang..
Setelah kami rasa sesi foto2 selesai..Kami mulai menuruni puncak, kembali ke camp yang masih ditunggui oleh Om Budi..Yess, udah nyampai puncak, saatnya sarapan... Pagi itu kita makan, mie instant telor campur kornet dan susu coklat dicampur kopi (spesial masakan Om Budi neeh).. Mantaap pisan... Next activity-> PACKING...
Yaaa, packing selesai, langsung tancap gas buat turun tepat pukul 08.30, mengingat persediaan air udah mulai tipis, jadi kita sebisa mungkin menghemat air sampai lembah kidang (mata air terdekat)..
Begitu sampai di Lembah Kijang, perut sudah mulai keroncongan yang tidak karuan.. acara masak memasak dimulai..Nasi plus mie goreng instant bersama kopi menemani “lunch” hari terakhir di kawasan pendakian Arjuno. Rasanya “this my perfect life”.
Perjalanan dilanjutkan. Salah satu rombongan yang bernama Arif udah ngacir duluan, jadi tinggallah kita ber-sebelas menuruni lereng Arjuno. Perlahan tapi pasti perjalanan dilanjutkan, mulai dari Lembah Kijang, lanjut Pondokan, lanjut lagi Kop-kopan Baru. Disini istirahat lama dimulai.
Tapi saya, anita dan si Batu turun duluan dan janji menunggu di Kop-kopan tempat pertama kita ngecamp. Perjalanan sekitar selisih 1,5 jam dengan rombongan Om Budi yang ada di belakang.
Di kop-kopan, qta makan seadanya, untuk men-charge tenaga yang mulai payah.. gerimis mengundang pun ikut-ikutan datang. Sekitar pukul 9 malam, secara beriringan kita mulai menuruni lereng bawah Arjuno. Perjalanan yang disertai hujan dan mendung yang menggelayut, membuat jalanan begitu licin, dan seringkali kami (rombongan) terpeleset. Om Budi dan Bang Joni menjadi leader kali ini, dan Yosef bersama Yudi menjadi sweeper.
Di tengah jalan, karier yang saya bawa mulai, terasa berat. Bang Joni pun turun tangan, dengan membawa karier saya. Kali ini saya sangat berterima kasih atas bantuan Bang Joni yang membawakan karier sampai di PHPS. Sungguh, saya salut dengan tenaga “gatotkoco” yang dimiliki Bang Joni.
Senin, 31 Mei 2010
Sampai dii PHPS sekitar pukul 00.30 tengah malam. istirahat dan sekedar ngobrol. ritual setelah mendaki gunung buat saya adalah -mandi besar- pun saya lakukan di tengah malam itu. Maklum 4 hari lebih saya tidak mandi, badan terasa segar begitu tersentuh oleh air yang begitu dingin.
Begitu semua udah selesai, rombongan sudah ditunggu oleh L300 yang sudah dicarter untuk mengantarkan ke Pandaan. Rasanya perjalanan sangat cepat, seperti tidur hanya 5 menit, dan terbangun sudah di Pandaan.
Rencana awal menunggu bus Malang-Surabaya, tapi berhubung ada angkutan Lawang-Bungur (kayak travel) yang lewat, akhirnya kita tanpa pikir panjang ikut angkutan itu. Dengan posisi duduk bersama kelelahan yang luar biasa tertidurlah kami semua kecuali Om Budi yang ada di samping sopir.
Begitu sampai di bungur, saya dan Fajar turun duluan, karena dari awla perjalanan kita dari sini. dan rombongan diantar menuju Bratang (basecamp Om Budi).
Demikian sekilas perjalanan sebuah keluarga baru bagi saya,,
Sampai Jumpa di Pendakian Gede Pangarango...
Tetaplah mencintai alam sekarang, esok, dan lusa....
salam Lestari dari saya :kiss
Akhirnya ada salah satu teman yang dari Semarang yang teracuni untuk mau menemani saya untuk muncak. Semua dibicarakan di YM dan telpon. Pas hari H – 27 Mei 2010, kita bertemu di terminal Bungurasih. Perjalanan dimulai menuju Pandaan pada pukul 08.45 dari Surabaya. Tiba di Pandaan pukul 09.30. Lanjut untuk mencari angkot ke daerah Tretes turun di depan hotel Tanjung (Perijinan PHPS).
Dari awal feeling berasa aneh. Ternyata perijinan pendakian Arjuno-Welirang DITUTUP. Duaaarrrrrr!! Jauh-jauh kesini ditutup. Gimana gak frustasi coba!! Trus ketemu dengan 2 orang yang sepertinya mau mendaki juga. Namanya Mas Agung dan Om Budi. Setelah ngobrol sambil makan di warung dekat perijinan, saya baru tau kalo sebenarnya tidak masalah untuk muncak, tapi dengan catatan kalo ada apa-apa Perhutani tidak bertanggung jawab.
Diputuskan akhirnya saya dan Fajar (teman dari Semarang) ikut rombongan Om Budi dan Mas Agung. Perjalanan dimulai pukul 11.45 melewati jalanan Makadam (batuan yang tersusun rapi).
Tiba di Pet Bocor pukul 12.15. Perjalanan dilanjutkan menuju Shelter I Kop-kopan. Perjalanan cukup melelahkan. Sedikit bonus, Nanjak mulu.
Tiba disana pukul 17.30. Berhubung Fajar yang membawa double bag terlihat capek, kita putuskan nge-camp sambil nunggu Om Budi dan Mas Agung yang masih tertinggal di belakang.
Tenda terpasang, acara masak pun dimulai, dan akhirnya terdengar suara langkah kaki. Dalam hati berharap itu Om Budi dan Mas Agung. Yess, It’s True! Berhubung kita udah masak, kita tawarin deh tuh mie rebus ma kopi ke mereka. Jadi malam itu jadwalnya adalah TIDUR. Tengah malam mulai terdengar suara berisik ternyata banyak pendaki-pendaki yang nge-camp juga.
Jumat 28 Mei 2010
Sunrise di Kop-kopan. Begitu buka tenda “baaaaaa” banyak juga yang nge-camp. Mungkin sekitar 30 orang disitu. Rombongan Om Budi pun bertambah. Yang semula cuma Om Budi dan Mas Agung, bertambah 8 orang menjadi 10 orang. Dan beruntunglah diriku, ada salah satu yang berjenis kelamin wanita diantara mereka. Setidaknya saya ada temennya gituu.. hehehee..
Setelah masak, bongkar tenda, packing, dan beres-beres, ritual doa, dll berangkatlah kita naik menuju Pondokan pada pukul 08.30. Jalur yang terjal dan senda gurau yang tidak jelas membuat perjalanan menjadi cukup lambat karena kami banyak berhenti untuk istirahat dan makan siang pukul 13.15. Di perjalanan bertemulah dengan gubug pengangkut belerang. Biasa disebut Kop-kopan Baru. Baru istiraat sebentar, rintik-rintik hujan mulai membasahi dan akhirnya breesss.. Hujan deras datang. Berteduhlah kami di “gubug derita” itu sambil menunggu 2 orang yang menjadi sapu ranjau (sweeping) yaitu Om Budi dan Yudi. Hujan cukup lama, berinisiatiflah kami membakar tempura yang dibawa rombongan Om Budi diatas api unggun yang kita bikin di dalam gubug itu. Memang dalam keadaan apapun di gunung bagi saya apapun makanannya tetap enak untuk ditelan. *dasar rakus!!!!
Waktu sudah menunjukkan 14.50, hujan sudah berhenti dan akhirnya perjalanan dilanjutkan menuju Pondokan. Perlahan tapi pasti, sampailah kita di Pondokan pukul 15.20.
Sebenarnya ada rencana untuk nge-camp di Lembah Kijang, tapi berhubung anak-anak udah pada buka tenda dan mulai masak, jadilah kita nge-camp di Pondokan. Malam itu saya merasa menemukan keluarga baru. Rasanya saya ada di dalam mereka walaupun baru kenal beberapa jam lamanya. Setelah makan malam, yang menurut saya seperti “dog food” dan saya tetap enjoy untuk memakannya. Kami bercengkrama. Ya istilahnya bertukar pikiran gitu lah. Benar-benar keluarga yang baru dan seru buat saya.
Cuaca malam itu sungguh luar biasa. Tepat pas bulan purnama. Sungguh pemandangan yang saya jarang jumpai di setiap pendakian saya. Malam itu saya berempat dengan Om Budi, Bang Joni, dan si Batu tidur di luar. Entah karena kedinginan atau ketakutan gara-gara “mumun” (sebutan setan) Bang Joni dan Om Budi pindah masuk ke dalam tenda. Tinggallah saya dan si Batu tidur di luar berselimutkan SB, tenda, dan semacam flysheet.
Sabtu, 29 Mei 2010
Pagi datang, breakfast dimulai, buang hajat dilaksanakan, packing dilakukan. Berangkat dari Pondokan menuju Lembah Kijang pukul 08.45. Selama di perjalanan, canda dan tawa masih menghampiri kita. Tiba di Lembah Kijang pukul 09.25, foto-foto sebentar dan melanjutkan perjalanan menuju Puncak Sang Arjuno.
Jalur yang hampir 90% nge-trek puoll membuat canda dan tawa perlahan-lahan pergi. Hampir-hampir kami keseringan istirahat. Bahkan ada salah satu teman cewek kami mengalami maag. Jadi sering sekali kami berhenti untuk rehat. Tibalah kami di Puncak Bayangan / Semu / apapun itu namanya pokoknya tanah datar dekat tempat memoriam para pendaki yang telah tiada.
Bikinlah kami tenda disitu, melihat kepayahan dari tim kami dan sudah ada beberapa dari kami yang memasak. Waaah.. cocok bener daah, udara dingin, makan yang anget-anget. Mantap pisan cuuy!! Seingat saya setelah makan malam, kami tidak mengadakan ritual apapun melihat suhu yang begitu rendah disini. Dan kami langsung masuk ke tenda dan tiduur. Tapi ada beberapa dari kami seperti Om Budi, Mas Agung, Bang Joni, Yudi, Om Gendon, sama Yosef masih bernyanyi2 di tengah suasana malam yang cukup mencekam karena banyaknya petir dan kilat yang ada.
MInggu, 30 Mei 2010
Akhirnya hujan datanglaah pada dini hari sekitar pukul 3, salah satu dome mengalami kebocoran, dan berujung ngunsi di dome satunya. Dome yang biasa buat 5 orang diisi 12 orang. Hadeeh, uanggeet empet-empetan dengan posisi duduk...
Yudi yang bertugas masak pagi itu, membikin sarapan untuk isi perut sebelum muncak..Tepat jam 5 dari tempat kami ngecamp, berangkatlah kami untuk muncak. Kabut tebal mengiringi kami. Perlahan tapi pasti kami mulai berjalan, sekitar setengah jam, sampailah kita si tempat yang ditunggu
Akhirnyaaaaaaaa
Puncak oh Puncak dari Arjuno ....
Aku bisa mencapaimu juga bersama keluarga baru, bersama harapan baru... Legaaa rasanya.... Aku ada diatas awan, dan aku bisa melihat awan ad di bawahku..
yaaah, 3339 mdpl sungguh luar biasa... Dari sini pun aku bisa melihat Penanggungan dan kecil, gagahnya Semeru dan saudara kembarmu Sang Welirang..
Setelah kami rasa sesi foto2 selesai..Kami mulai menuruni puncak, kembali ke camp yang masih ditunggui oleh Om Budi..Yess, udah nyampai puncak, saatnya sarapan... Pagi itu kita makan, mie instant telor campur kornet dan susu coklat dicampur kopi (spesial masakan Om Budi neeh).. Mantaap pisan... Next activity-> PACKING...
Yaaa, packing selesai, langsung tancap gas buat turun tepat pukul 08.30, mengingat persediaan air udah mulai tipis, jadi kita sebisa mungkin menghemat air sampai lembah kidang (mata air terdekat)..
Begitu sampai di Lembah Kijang, perut sudah mulai keroncongan yang tidak karuan.. acara masak memasak dimulai..Nasi plus mie goreng instant bersama kopi menemani “lunch” hari terakhir di kawasan pendakian Arjuno. Rasanya “this my perfect life”.
Perjalanan dilanjutkan. Salah satu rombongan yang bernama Arif udah ngacir duluan, jadi tinggallah kita ber-sebelas menuruni lereng Arjuno. Perlahan tapi pasti perjalanan dilanjutkan, mulai dari Lembah Kijang, lanjut Pondokan, lanjut lagi Kop-kopan Baru. Disini istirahat lama dimulai.
Tapi saya, anita dan si Batu turun duluan dan janji menunggu di Kop-kopan tempat pertama kita ngecamp. Perjalanan sekitar selisih 1,5 jam dengan rombongan Om Budi yang ada di belakang.
Di kop-kopan, qta makan seadanya, untuk men-charge tenaga yang mulai payah.. gerimis mengundang pun ikut-ikutan datang. Sekitar pukul 9 malam, secara beriringan kita mulai menuruni lereng bawah Arjuno. Perjalanan yang disertai hujan dan mendung yang menggelayut, membuat jalanan begitu licin, dan seringkali kami (rombongan) terpeleset. Om Budi dan Bang Joni menjadi leader kali ini, dan Yosef bersama Yudi menjadi sweeper.
Di tengah jalan, karier yang saya bawa mulai, terasa berat. Bang Joni pun turun tangan, dengan membawa karier saya. Kali ini saya sangat berterima kasih atas bantuan Bang Joni yang membawakan karier sampai di PHPS. Sungguh, saya salut dengan tenaga “gatotkoco” yang dimiliki Bang Joni.
Senin, 31 Mei 2010
Sampai dii PHPS sekitar pukul 00.30 tengah malam. istirahat dan sekedar ngobrol. ritual setelah mendaki gunung buat saya adalah -mandi besar- pun saya lakukan di tengah malam itu. Maklum 4 hari lebih saya tidak mandi, badan terasa segar begitu tersentuh oleh air yang begitu dingin.
Begitu semua udah selesai, rombongan sudah ditunggu oleh L300 yang sudah dicarter untuk mengantarkan ke Pandaan. Rasanya perjalanan sangat cepat, seperti tidur hanya 5 menit, dan terbangun sudah di Pandaan.
Rencana awal menunggu bus Malang-Surabaya, tapi berhubung ada angkutan Lawang-Bungur (kayak travel) yang lewat, akhirnya kita tanpa pikir panjang ikut angkutan itu. Dengan posisi duduk bersama kelelahan yang luar biasa tertidurlah kami semua kecuali Om Budi yang ada di samping sopir.
Begitu sampai di bungur, saya dan Fajar turun duluan, karena dari awla perjalanan kita dari sini. dan rombongan diantar menuju Bratang (basecamp Om Budi).
Demikian sekilas perjalanan sebuah keluarga baru bagi saya,,
Sampai Jumpa di Pendakian Gede Pangarango...
Tetaplah mencintai alam sekarang, esok, dan lusa....
salam Lestari dari saya :kiss
Langganan:
Postingan (Atom)