WELKOM

semua bercerita dengan tulisan..dengan sejuta rasa... dan sejuta impian yang mulai perlahan aku dapatkan akan berakhir di sebuah blog yang bisa mengerti dan merasakan rasa dan asaku...

favourite

  • gunung, pantai, keindahan kota
  • all about backpacker
  • buku, film, music

Selasa, 27 Juli 2010

...Ketika Garuda perlahan mulai tersapu...



butiran pasir menyeruak dalam pijakan
debu menggambar jelas dalam pandangan
batuan bergemuruh melawan gravitasi

lama sudah penantian ini...

Puncak Garuda dalam naungan Sang Merapi
Kini hilang, tinggallah sisamu yang masih berdiri tegak
Berdiri bersama Sang Saka Merah Putih yang berkibar


Tetaplah menjadi misteri
Tetaplah kau bersih walaupun gersang bersamamu
karena di dalam engkau mereka masih setia dalam sesaji..


_claracliricluru_

Selasa, 13 Juli 2010

Keindahan Mahkota Gede-Pangrango di Jawa Barat

Selasa, 6 Juli 2010
Perjuanganku dimulai dari hari Selasa 6 Juli 2010. Dimulai dari Terminal Bungurasih pada 18.00. Kenjengahan muncul disini, bus PO Ma**r mulai merambat menuju ibukota. Perjalanan 20 jam pun dimulai. Kebosanan yang teramat menyiksa, dan membuat ‘kapok’. Gak bakalan lagi deh naik bus jurusan Surabaya-Jakarta ataupun sebaliknya.


Rabu, 7 Juli 2010

Sampai di Terminal Pulo Gadung pukul 14.00 dengan rasa lelah dan kebosanan yang sudah memuncak. Akhirnya ketemu juga dengan Prisma (sepupu) yang menjemputku. Begitu sampai di Bekasi, mandi, bongkar packingan, checking, dan melengkapi ulang yang perlengkapan kurang. Waktu terasa cepat untuk persiapan ini.

Pukul 22.00, aku, Yogi dan Ferly janjian untuk ketemu di Kampung Rambutan untuk langsung berangkat ke Cibodas. Setelah kita ketemu naiklah kita bus menuju Puncak dengan ongkos per orang Rp 15.000. Mungkin dari kami bertiga sama-sama lelah dengan aktivitas masing-masing di hari itu, tak terasa kami telah melewati Cimacan. Dengan terpaksa akhirnya kami berjalan kaki kembali menuju pertigaan yang menuju Cibodas. Dibutuhkan waktu sekitar 20 menit berjalan kaki untuk kembali.


Kamis, 8 Juli 2010

Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Ferly menyempatkan untuk makan bubur di pertigaan itu. Karena angkutan yang ada disitu minim karena masih tengah malam, kami memutuskan untuk naik ojek. Tapi karena hanya 2 motor, jadinya aku dan ferly “cenglu” (bonceng telu) sama mang ojek itu dan Yogi yang membawa karier double bareng ma mang ojek satunya. FYI ojek Cimacan-Cibodas sekitar Rp 6000.

Sampai di tempat ‘mang Idi’ sekitar pukul 02.00 kami pesen teh anget dan si Yogi pun mulai kelaparan tampaknya dan ia memesan mie rebus. Setelah isi perut selesai dan tampaknya semua sudah mulai ngantuk, akhirnya kami tidur di pojokan di dalam warung Mang Idi. Pagi itu mulai banyak “penghuni baru” yang menempati warung Mang Idi.

Ketika aku terbangun, hari sudah terang benderang dan waktu telah menunjukkan pukul 07.00. Setelah beres-beres dan sarapan di tempat Mang Idi, kami memantapkan planning kami untuk pendakian ini sambil nunggu jam 08.00 (jam buka kantor TNGGP).

Pukul 08.00, kami berpamitan kepada Mang Idi dan mulai mengurus simaksi di kantor TNGGP. Prosedur yang ketat mulai dari salahpaham soal perpanjangan simaksi, menjawab kuis, hingga harus fotokopi sendiri data-data yang diperlukan membuat waktu kami terbuang lama di kantor TNGGP.

Kurang lebih pukul 10.20 kita baru keluar dari kantor TNGGP ini. Perjalanan dimulai menuju basecamp bawah, dan menyerahkan data barang bawaan yang nanti menjadi sampah ke petugas.

Pendakian dimulai tapat pukul 10.35 dari basecamp bawah. Sampai di Pos 1 pukul 10.50.
Dan Pos kedua adalah Telaga Biru tepat pukul 11.20. Disini ada sebuah telaga yang airnya berwarna hijau tosca karena ditumbuhi banyak alga. Pos ketiga di Panyangcangan (pertigaan antara jalur pendakian Gepang dan Air Terjun Cibereum) pada pukul 12.00. Disini hujan mulai mengguyur,dan kami beristirahat sejenak. Karena hujan tak mulai reda akhirnya kami memutuskan untuk merambat naik di tengah derasnya hujan yang turun. Sampailah kita di Air Panas, air yang merembes ke sepatu memang terasa hangat, dan bau belerang menyertai langkah kami. Sampai di Pos Pemandangan setelah Air Panas sekitar pukul 15.30. Kami memutuskan untuk makan siang dulu disini.

Perjalanan kami lanjutkan pukul 16.15. Sampai di Pos Kandang Batu pukul 16.23, karena tenaga baru saja terisi kami memutuskan untuk tidak istirahat tapi langsung melanjutkan perjalanan menuju Kandang Badak mengingat hari telah mulai sore.

Sampai di Pos Kandang Badak pukul 17.35. Planning yang tadinya ingin camp di Mandalawangi kami urungkan, karena hari telah sore dan pengalaman Ferly tentang trekking menuju Puncak Pangrango yang cukup berat dan curam. Akhirnya kami buka tenda disini. Setelah beres-beres, makan malam, dan ngobrol-ngobrol dengan pendaki lain, akhirnya kami tidur untuk meng-charge tenaga untuk pendakian Pangrango esok hari.


Jumat, 9 Juli 2010

Setelah kami bangun pagi, dan mulai sarapan kami membuat planning hari itu. Kami memutuskan untuk meninggalkan tenda dan hanya membawa 1 karier untuk logistic yang akan kami bawa ke Puncak Pangrango. Tenda, pelengkapan tidurm dan barang-barang yang sekiranya tidak perlu, kami tinggalkan di Kandang Badak.

Perjalanan kami mulai pukul 08.30 dari Kandang Badak. Rute trekking ini cukup membuat kami sempoyongan. Jalur Kandang Bdak- Puncak Pangrango lumayan curam dan jalan yang cukup sempit (jalur air) membuat badan kami tersangkut dengan ranting-ranting. Sampailah kami di Puncak Pangrango pukul 12.00.

Di Puncak Pangrango ada seperti tugu setinggi 150cm berwarna hijau dan semua gubuk kecil yang telah mulai rusak. Puncak Pangrango tidak seperti puncak gunung lain yang terbuka lebar. Puncak ini banyak ditumbuhi pohon-pohon dan kita kalau beruntung masih bisa memandang Puncak Gede di seberangnya. Gerimis mulai mengundang, kami percepat langkah kami untuk segera turun ke Lembah Mandalawangi.

Takjub dan terpukau. Itulah yang kurasakan saat Mandalawangi ada di depan mata. Lahan 5 hektar yang ditumbuhi edelweiss ‘bunga keabadian’. Luar biasa. It’s real. Salah satu ciptaan tangan Tuhan yang sungguh aku kagumi. Pantas saja Soe hok Gie menjadikan Mandalawangi tempat favoritnya.

Ketika ‘keabadian’ di Mandalawangi

Ketika kaki ini berjalan, bersama lelah menjuntai
Ketika tangan ini meraih akar untuk sebuah keseimbangan
Ketika badan ini membungkuk untuk menghindar
Ketika pundak ini terasa berat menahan beban
Ketika pikiran ini mulai terasa kosong dan hanya harapan yang tersisa

Dan ketika itu pula aku melihat keindahanmu, Mandalawangi
Takkan pernah lelah mata ini memandang
Air mata yang terurai bersama ketakjuban ukiran tangan Tuhan

Airmu membasahi muka dan raga
Edelweismu yang memanjakan retina mata
Dinginnya kabutmu menyelimuti
Tanahmu yang basah dan hangat
Anginmu yang menyentuh kulit
Semua yang ada padamu, Mandalawangi, aku mencintainya

Ingin ku memelukmu dan menciummu
Ingin ku bersamamu menikmati dan bersyukur tentang kehidupan ini
Ingin ku mengurai cinta dan keabadian hidup bersamamu
Ingin ku berjalan dalam ribaanmu yang agung
Mandalawangi, tunggu aku disana (lagi)…


Dengan sebuah asa dan cinta yang tersisa
_claracliricluru_


Di Mandalawangi kami makan siang bersama guyuran hujan yang cukup lebat. Perjalanan turun kami mulai pukul 13.40 bersama rintikan hujan yang berubah menjadi tumpahan hujan yang cukup membuat jalan licin dan membuat kami sering terpeleset. Sampailah kami di Kandang Badak pukul 15.30.

Setelah kami beristirahat sejenak, datanglah temen-teman dari OANCeh Bogor rombongan Kang Hadi dan Dimas tepat pukul 16.30, dan terakhir datang adalah Bang Nandar pukul 17.30. Setelah kami banyak berbincang dan berkenalan kami memulai malam kedua ini di Kandang Badak (lagi).


Sabtu, 10 Juli 2010

Ritual pagi dimulai. Mulai dari buang hajat, ngisi perut (lagi), bongkar tenda, dan packing untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Kami meninggalkan kandang tepat pukul 09.30. Perlahan tapi pasti kami mulai merangkak naik. Tibalah kami di ‘Tanjakan Rantai’ pada pukul 10.30.

Di Tanjakan inilah adrenalin mulai teruji. Dengan ketinggian sekitar ± 80m dan kemiringan ±70-80o dan tali yang mulai rapuh dan tidak meyakinkan kami harus merambat naik perlahan. Dan mulailah kita memasuki batas vegetasi yang berarti puncak sudah mulai dekat.

Tepat pukul 12.00 sampailah kita di Puncak Gede. Setelah berjalan, dan berfoto-foto ria selama 1.5 jam kami memutuskan untuk turun ke Surya Kencana. Medan bebatuan cukup membuat kaki kami kesakitan menahan turunan. Sampai di Surya Kencana tepat pukul 14.30. Disini kami memulai makan siang ditemani kabut yang mulai menebal yang hilang-muncul.

Surya Kencana penuh dengan dome-dome para pendaki lain. Surya Kencana lebih mirip camping ground, saya rasa. Karena itulah saya lebih memilih sepinya Mandalawangi.

Keluar dari Surya Kencana pukul 16.00. Perjalanan kami lanjutkan melewati rute Gunung Putri. Rute turun ini cukup menguras tenaga kami. Karena banyaknya akar pohon yang melintang kalau tidak hati-hati cukup membawa celaka. Dalam perjalanan ini 2x disini saya nyaris celaka terjatuh dari ketinggian 3 meter dengan batu-batu yang cukup lancip dibawah. Kami mempercepat langkah kami, karena gelap sudah mulai membayangi. Pos demi pos kami lewati, begitu sampai di Pos 1, medan menjadi tangga yang cukup curam dan membuat lelah.

Finally, sampailah kami di Pos GPO (Gede-Pangrango Operation) tepat pukul 20.30. Sampah yang kami bawa dan kami kumpulkan kami buang disini. Setelah mengurus simaksi di pintu keluar ini, kami turun dan mampir di warung penduduk. Disini kami ber-enam makan dan bercerita kesana-kemari.

Begitu selesai mulailah kami berjalan menuju jalan raya Cipanas. Kami berjalan di aspal turunan sekitar 4.5 km. Cukup jauh buat saya. Setelah sampai di jalan raya, kami menaiki angkot cipanas-puncak dengan sopir yang kelihatannya ngantuk berat. Terlihat dari cara nyopirnya yang sedikit ugal-ugalan.

Sampai di puncak kita menginap di emperan masjid At Ta’awun. Akhirnya satu persatu kami mulai terlelap disini. Perlahan-lahan adzan subuh membangunkan kami. Bergegaslah kami untuk segera membereskan tempat yang telah kami tiduri. Dan kami mulai mencari angkot untuk ke terminal Bogor. Dapatlah kami angkot dengan sopir yang mabok dan FYI di didalam angkot ini full–music RnB dan pop indo dengan suara yang cukup memekakkan telinga. Jelas saja kami jantungan dengan sopir yang gaya sopirnya seperti di ‘tokyo drift’ tapi tidak beraturan.

Setelah sampai di Terminal Bogor, aku dan Yogi berpisah dengan rombongan untuk mencari bus Bogor-Bekasi. Sedangkan Bang Nandar, Kang Hadi, Dimas, dan Ferly mencari angkot untuk pulang kerumah masing-masing..

--END—

• makasi buat Jesus udah nemeni dan berkati perjalanan double summit ini sepanjang waktu.
• Buat ibu dan mas gembong, makasi buat doanya dan financial yang udah diberikan.
• Buat bapak, makasi juga buat restunya bisa sampai puncak
• Teman seperjalanan Yogi, Ferly, Bang Nandar, Kang Hadi, dan Dimas yang udah mau dengerin cerewetku dan dengan sabar nungguin aku yang paling lelet..
• Buncit yang udah bantuin beliin tiket jkt-sby, walaupun harus merangkak ke HardRock.
• Dan semuaaaaaanya… tengkieeess all…