WELKOM

semua bercerita dengan tulisan..dengan sejuta rasa... dan sejuta impian yang mulai perlahan aku dapatkan akan berakhir di sebuah blog yang bisa mengerti dan merasakan rasa dan asaku...

favourite

  • gunung, pantai, keindahan kota
  • all about backpacker
  • buku, film, music

Minggu, 06 Juni 2010

Menghargai Hidup dan Kehidupan dengan Mendaki Gunung

Sedikit sekali orang yang bisa memahami keadaan seseorang atau keadaan sekitarnya, jika ia tidak terjun langsung atau mengalami apa yang dirasakan seseorang dalam kehidupannya.

Pencinta Alam atau biasa disebut PA, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang – orang ini. Dengan ransel serat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah. Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik Gunung. Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, hi…!!!!!!!”

Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri yang penuh, kuat dan mantap mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang normal seketika menjadi naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas yang tak henti – hentinya mencibir mereka. Dan begitu segalanya terjadi, tak ada lagi yang bisa berkata bahwa mereka adalah pembual !!!!!

Peduli pada alam membuat siapapun akan lebih peduli pada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri. Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang kerap disebut petualang ini. Mendaki gunung bukan berarti menaklukan alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri dari keegoisan pribadi. Mendaki gunung adalah kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama.

Dan menjadi salah satu dari mereka bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka sudah menyinggung soal kematian yang memang tampaknya lebih dekat pada orang - orang yang terjun di alam bebas ini. “Mati muda yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, di gunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir. Tidak di gunung pun, kalau mau mati ya matilah…!!! Kalau selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin kita tidak akan mengenal Columbus penemu Benua Amerika.

Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan, ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya. Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan.

Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya. Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akan kembali ke urat akar di mana dia hidup.

Ya, menghargai hidup adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak. Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula kita menghargai hidup.

Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa kasih sayangnya.

Kalau golongan mayoritas masih terus saja berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah. Karena siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang menaifkan hal ini. Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara di mana mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh para petualang ini, yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian. Coba deh….!!!!!!!!

dikutip dari EAN Edisi 24 November – Desember 2002 dengan sedikit perubahan

Kamis, 03 Juni 2010

sebuah perjalanan hati menuju Sang Arjuna

Terkadang ide, niat, dan tekad yang bulat membuatnya menjadi kenyataan. Inilah yang saya alami. Tanpa ada dukungan personil dari organisasi saya, saya bertekad mencapai summit. Dengan tujuan awal double summit Arjuno Welirang. Walaupun ujungnya cuma satu summit yang dicapai, tapi banyak cerita yang saya alami.


Akhirnya ada salah satu teman yang dari Semarang yang teracuni untuk mau menemani saya untuk muncak. Semua dibicarakan di YM dan telpon. Pas hari H – 27 Mei 2010, kita bertemu di terminal Bungurasih. Perjalanan dimulai menuju Pandaan pada pukul 08.45 dari Surabaya. Tiba di Pandaan pukul 09.30. Lanjut untuk mencari angkot ke daerah Tretes turun di depan hotel Tanjung (Perijinan PHPS).
Dari awal feeling berasa aneh. Ternyata perijinan pendakian Arjuno-Welirang DITUTUP. Duaaarrrrrr!! Jauh-jauh kesini ditutup. Gimana gak frustasi coba!! Trus ketemu dengan 2 orang yang sepertinya mau mendaki juga. Namanya Mas Agung dan Om Budi. Setelah ngobrol sambil makan di warung dekat perijinan, saya baru tau kalo sebenarnya tidak masalah untuk muncak, tapi dengan catatan kalo ada apa-apa Perhutani tidak bertanggung jawab.


Diputuskan akhirnya saya dan Fajar (teman dari Semarang) ikut rombongan Om Budi dan Mas Agung. Perjalanan dimulai pukul 11.45 melewati jalanan Makadam (batuan yang tersusun rapi).

Tiba di Pet Bocor pukul 12.15. Perjalanan dilanjutkan menuju Shelter I Kop-kopan. Perjalanan cukup melelahkan. Sedikit bonus, Nanjak mulu.

Tiba disana pukul 17.30. Berhubung Fajar yang membawa double bag terlihat capek, kita putuskan nge-camp sambil nunggu Om Budi dan Mas Agung yang masih tertinggal di belakang.


Tenda terpasang, acara masak pun dimulai, dan akhirnya terdengar suara langkah kaki. Dalam hati berharap itu Om Budi dan Mas Agung. Yess, It’s True! Berhubung kita udah masak, kita tawarin deh tuh mie rebus ma kopi ke mereka. Jadi malam itu jadwalnya adalah TIDUR. Tengah malam mulai terdengar suara berisik ternyata banyak pendaki-pendaki yang nge-camp juga.

Jumat 28 Mei 2010
Sunrise di Kop-kopan. Begitu buka tenda “baaaaaa” banyak juga yang nge-camp. Mungkin sekitar 30 orang disitu. Rombongan Om Budi pun bertambah. Yang semula cuma Om Budi dan Mas Agung, bertambah 8 orang menjadi 10 orang. Dan beruntunglah diriku, ada salah satu yang berjenis kelamin wanita diantara mereka. Setidaknya saya ada temennya gituu.. hehehee..

Setelah masak, bongkar tenda, packing, dan beres-beres, ritual doa, dll berangkatlah kita naik menuju Pondokan pada pukul 08.30. Jalur yang terjal dan senda gurau yang tidak jelas membuat perjalanan menjadi cukup lambat karena kami banyak berhenti untuk istirahat dan makan siang pukul 13.15. Di perjalanan bertemulah dengan gubug pengangkut belerang. Biasa disebut Kop-kopan Baru. Baru istiraat sebentar, rintik-rintik hujan mulai membasahi dan akhirnya breesss.. Hujan deras datang. Berteduhlah kami di “gubug derita” itu sambil menunggu 2 orang yang menjadi sapu ranjau (sweeping) yaitu Om Budi dan Yudi. Hujan cukup lama, berinisiatiflah kami membakar tempura yang dibawa rombongan Om Budi diatas api unggun yang kita bikin di dalam gubug itu. Memang dalam keadaan apapun di gunung bagi saya apapun makanannya tetap enak untuk ditelan. *dasar rakus!!!!


Waktu sudah menunjukkan 14.50, hujan sudah berhenti dan akhirnya perjalanan dilanjutkan menuju Pondokan. Perlahan tapi pasti, sampailah kita di Pondokan pukul 15.20.


Sebenarnya ada rencana untuk nge-camp di Lembah Kijang, tapi berhubung anak-anak udah pada buka tenda dan mulai masak, jadilah kita nge-camp di Pondokan. Malam itu saya merasa menemukan keluarga baru. Rasanya saya ada di dalam mereka walaupun baru kenal beberapa jam lamanya. Setelah makan malam, yang menurut saya seperti “dog food” dan saya tetap enjoy untuk memakannya. Kami bercengkrama. Ya istilahnya bertukar pikiran gitu lah. Benar-benar keluarga yang baru dan seru buat saya.


Cuaca malam itu sungguh luar biasa. Tepat pas bulan purnama. Sungguh pemandangan yang saya jarang jumpai di setiap pendakian saya. Malam itu saya berempat dengan Om Budi, Bang Joni, dan si Batu tidur di luar. Entah karena kedinginan atau ketakutan gara-gara “mumun” (sebutan setan) Bang Joni dan Om Budi pindah masuk ke dalam tenda. Tinggallah saya dan si Batu tidur di luar berselimutkan SB, tenda, dan semacam flysheet.


Sabtu, 29 Mei 2010
Pagi datang, breakfast dimulai, buang hajat dilaksanakan, packing dilakukan. Berangkat dari Pondokan menuju Lembah Kijang pukul 08.45. Selama di perjalanan, canda dan tawa masih menghampiri kita. Tiba di Lembah Kijang pukul 09.25, foto-foto sebentar dan melanjutkan perjalanan menuju Puncak Sang Arjuno.


Jalur yang hampir 90% nge-trek puoll membuat canda dan tawa perlahan-lahan pergi. Hampir-hampir kami keseringan istirahat. Bahkan ada salah satu teman cewek kami mengalami maag. Jadi sering sekali kami berhenti untuk rehat. Tibalah kami di Puncak Bayangan / Semu / apapun itu namanya pokoknya tanah datar dekat tempat memoriam para pendaki yang telah tiada.


Bikinlah kami tenda disitu, melihat kepayahan dari tim kami dan sudah ada beberapa dari kami yang memasak. Waaah.. cocok bener daah, udara dingin, makan yang anget-anget. Mantap pisan cuuy!! Seingat saya setelah makan malam, kami tidak mengadakan ritual apapun melihat suhu yang begitu rendah disini. Dan kami langsung masuk ke tenda dan tiduur. Tapi ada beberapa dari kami seperti Om Budi, Mas Agung, Bang Joni, Yudi, Om Gendon, sama Yosef masih bernyanyi2 di tengah suasana malam yang cukup mencekam karena banyaknya petir dan kilat yang ada.


MInggu, 30 Mei 2010
Akhirnya hujan datanglaah pada dini hari sekitar pukul 3, salah satu dome mengalami kebocoran, dan berujung ngunsi di dome satunya. Dome yang biasa buat 5 orang diisi 12 orang. Hadeeh, uanggeet empet-empetan dengan posisi duduk...

Yudi yang bertugas masak pagi itu, membikin sarapan untuk isi perut sebelum muncak..Tepat jam 5 dari tempat kami ngecamp, berangkatlah kami untuk muncak. Kabut tebal mengiringi kami. Perlahan tapi pasti kami mulai berjalan, sekitar setengah jam, sampailah kita si tempat yang ditunggu

Akhirnyaaaaaaaa

Puncak oh Puncak dari Arjuno ....

Aku bisa mencapaimu juga bersama keluarga baru, bersama harapan baru... Legaaa rasanya.... Aku ada diatas awan, dan aku bisa melihat awan ad di bawahku..
yaaah, 3339 mdpl sungguh luar biasa... Dari sini pun aku bisa melihat Penanggungan dan kecil, gagahnya Semeru dan saudara kembarmu Sang Welirang..

Setelah kami rasa sesi foto2 selesai..Kami mulai menuruni puncak, kembali ke camp yang masih ditunggui oleh Om Budi..Yess, udah nyampai puncak, saatnya sarapan... Pagi itu kita makan, mie instant telor campur kornet dan susu coklat dicampur kopi (spesial masakan Om Budi neeh).. Mantaap pisan... Next activity-> PACKING...

Yaaa, packing selesai, langsung tancap gas buat turun tepat pukul 08.30, mengingat persediaan air udah mulai tipis, jadi kita sebisa mungkin menghemat air sampai lembah kidang (mata air terdekat)..

Begitu sampai di Lembah Kijang, perut sudah mulai keroncongan yang tidak karuan.. acara masak memasak dimulai..Nasi plus mie goreng instant bersama kopi menemani “lunch” hari terakhir di kawasan pendakian Arjuno. Rasanya “this my perfect life”.

Perjalanan dilanjutkan. Salah satu rombongan yang bernama Arif udah ngacir duluan, jadi tinggallah kita ber-sebelas menuruni lereng Arjuno. Perlahan tapi pasti perjalanan dilanjutkan, mulai dari Lembah Kijang, lanjut Pondokan, lanjut lagi Kop-kopan Baru. Disini istirahat lama dimulai.

Tapi saya, anita dan si Batu turun duluan dan janji menunggu di Kop-kopan tempat pertama kita ngecamp. Perjalanan sekitar selisih 1,5 jam dengan rombongan Om Budi yang ada di belakang.

Di kop-kopan, qta makan seadanya, untuk men-charge tenaga yang mulai payah.. gerimis mengundang pun ikut-ikutan datang. Sekitar pukul 9 malam, secara beriringan kita mulai menuruni lereng bawah Arjuno. Perjalanan yang disertai hujan dan mendung yang menggelayut, membuat jalanan begitu licin, dan seringkali kami (rombongan) terpeleset. Om Budi dan Bang Joni menjadi leader kali ini, dan Yosef bersama Yudi menjadi sweeper.

Di tengah jalan, karier yang saya bawa mulai, terasa berat. Bang Joni pun turun tangan, dengan membawa karier saya. Kali ini saya sangat berterima kasih atas bantuan Bang Joni yang membawakan karier sampai di PHPS. Sungguh, saya salut dengan tenaga “gatotkoco” yang dimiliki Bang Joni.

Senin, 31 Mei 2010
Sampai dii PHPS sekitar pukul 00.30 tengah malam. istirahat dan sekedar ngobrol. ritual setelah mendaki gunung buat saya adalah -mandi besar- pun saya lakukan di tengah malam itu. Maklum 4 hari lebih saya tidak mandi, badan terasa segar begitu tersentuh oleh air yang begitu dingin.

Begitu semua udah selesai, rombongan sudah ditunggu oleh L300 yang sudah dicarter untuk mengantarkan ke Pandaan. Rasanya perjalanan sangat cepat, seperti tidur hanya 5 menit, dan terbangun sudah di Pandaan.

Rencana awal menunggu bus Malang-Surabaya, tapi berhubung ada angkutan Lawang-Bungur (kayak travel) yang lewat, akhirnya kita tanpa pikir panjang ikut angkutan itu. Dengan posisi duduk bersama kelelahan yang luar biasa tertidurlah kami semua kecuali Om Budi yang ada di samping sopir.

Begitu sampai di bungur, saya dan Fajar turun duluan, karena dari awla perjalanan kita dari sini. dan rombongan diantar menuju Bratang (basecamp Om Budi).

Demikian sekilas perjalanan sebuah keluarga baru bagi saya,,

Sampai Jumpa di Pendakian Gede Pangarango...

Tetaplah mencintai alam sekarang, esok, dan lusa....
salam Lestari dari saya :kiss